Langsung ke konten utama

MEMAHAMI ARTI FRASA "DEMI HUKUM"



Apakah pengertian "demi hukum" sebagaimana tersebut dalam peraturan perundang-undangan?
Sebelum menjawab mengenai pengertian frasa “demi hukum” dalam peraturan perundang-undangan, saya akan memberikan contoh beberapa peraturan perundang-undangan yang memuat frasa “demi hukum”:
  • Pasal 197 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”): “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, i, j, k dan l pasal inimengakibatkan putusan batal demi hukum.”  
  • Pasal 9 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.HH-24.PK.01.01.01 Tahun 2011 tentang Pengeluaran Tahanan Demi Hukum (“Permenhukham 24/2011”): “Dalam hal pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan terhadap Tahanan telah sama dengan masa Penahanan yang telah dijalankan, Kepala Rutan atau Kepala Lapas mengeluarkan Tahanan demi hukum pada hari ditetapkannya putusan pengadilan terhadap Tahanan yang bersangkutan.”
Sebelum pembahasan lebih dalam, perlu dimengerti terlebih dahulu bahwa secara harfiah frasa “demi hukum” memiliki maksud untuk terciptanya suatu keadilan yang merupakan tujuan terciptanya hukum. Berangkat dari hal ini, maka istilah “demi hukum” dapat digunakan dalam berbagai ranah hukum baik hukum perikatan atau yang sering dituangkan dalam suatu perjanjian maupun hukum publik yang berbentuk peraturan perundang-undangan.
(a) Frasa “demi hukum” dalam peraturan perundang-undangan
Istilah “demi hukum” dalam peraturan perundang-undangan seringkali ditemukan dalam berbagai bentuk, misalnya dalam dua peraturan perundang-undangan yang telah dijabarkan di atas. Berangkat dari maksud istilah ‘demi hukum’ secara harfiah yang telah dijelaskan sebelumnya, maka pengertian berbagai istilah ini ditujukan agar tercapainya tujuan hukum dibentuk yakni suatu keadilan. Oleh karena itu, frasa "batal demi hukum" dalam Pasal 9 Permenhukham 24/2011 di atas memiliki arti bahwa pengeluaran tahanan tersebut dimaksudkan untuk tercapainya suatu keadilan menurut hukum yang berlaku. Definisi ini tentunya memiliki pengertian yang berbeda dengan Pasal 197 ayat (2) KUHAP yang mengandung kalimat mengakibatkan "putusan batal demi hukum". Batal demi hukum, selaras dengan pengertian dalam ranah perjanjian atau hukum perikatan yang akan dijabarkan selanjutnya, memiliki arti dianggap tidak pernah ada atau terjadi. Hal ini mengakibatkan tanpa adanya suatu putusan atau pengesahan lebih lanjut dari Pengadilan atau instansi lain, perbuatan atau obyek yang diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait (yang dalam pasal ini adalah berupa putusan) secara otomatis dianggap tidak pernah ada dan terjadi.
(b) Frasa “demi hukum” dalam ranah hukum perjanjian atau hukum perikatan
     Selain dalam peraturan perundang-undangan, ayat-ayat dalam suatu perjanjian juga sering kali memuat frasa batal demi hukum. Mengenai hal tersebut, dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) diatur mengenai syarat sahnya perjanjian yakni:
a.    Kesepakatan para pihak dalam perjanjian
b.    Kecakapan para pihak dalam perjanjian
c.    Suatu hal tertentu
d.    Sebab yang halal
Syarat a dan b melekat pada subyek atau para pihak yang membuat perjanjian oleh karena itu sering disebut sebagai syarat subyektif. Sedangkan, syarat c dan d melekat pada isi dari perjanjian itu sendiri oleh karena itu sering disebut sebagai syarat objektif. Jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan sedangkan jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat objektif, maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum. Perihal batal demi hukum ini diatur dalam Pasal 1335 KUHPerdata yang menyebutkan: “Suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasarkan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan”.
Tidak mempunyai kekuatan yang diatur dalam Pasal 1335 KUHPerdata sering disebut pula dengan batal demi hukum yang artinya perjanjian tersebut dari semula dianggap tidak pernah ada atau dilahirkan sehingga tidak pernah ada suatu perikatan. Hal ini yang merupakan perbedaan penting antara batal demi hukum dengan dapat dibatalkan yakni untuk batal demi hukum maka tanpa dimintakan pengesahan atau putusan dari Pengadilan, perjanjian tersebut batal dan dianggap tidak pernah ada, sedangkan untuk dapat dibatalkan (dalam hal melanggar syarat subjektif), maka perjanjian tersebut baru akan dianggap batal dan tidak mengikat jika salah satu pihak meminta pembatalannya ke Pengadilan.
Demikian yang saya ketahui, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23);
  2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ;     
  3. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.HH-24.PK.01.01.01 Tahun 2011 tentang Pengeluaran Tahanan Demi Hukum
Sumber : www.hukumonline.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

APA ITU BUMN (?) Hello Guys.. Pasti kalian nggak asing dengan istilah yang satu ini yaitu "BUMN", nah disini admin akan berbagi pengetahuan nih tentang apa itu pengertian, manfaat, ciri-ciri, dan contoh dari BUMN itu sendiri.  Selamat membaca!! 😊 BUMN (Badan Usaha Milik Negara) BUMN merupakan jenis badan usaha dimana seluruh atau sebagian modal dimiliki oleh Pemerintah. Status pegawai yang bekerja di BUMN adalah karyawan BUMN, bukan pegawai negeri. Saat ini sudah ada 3 bentuk badan usaha BUMN, yaitu : Perjan (Perusahaan Jawatan) Perjan merupakan salah satu bentuk badan usah yang seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah. Kemudian  perjan fokus melayani masyarakat.  Namun karena selalu fokus pada masyarakat dan tanpa adanya pemasukan untuk menanggulangi hal tersebut, maka sudah tidak terapkan lagi. Contoh    : PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api), sekarang menjadi PT. KAI.  Perjan RS Jantung Harapan Kita ,  Perjan RS Cipto Mangunkusumo , Perjan RS  AB

Sejarah Perbankan Syariah

Sejarah Perbankan Syariah Praktik Perbankan di Zaman Rasulullah SAW dan Sahabat RA. Di dalam sejarah perekonomian umat Islam, kegiatan muamalah seperti menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang, yang dilakukan dengan akad-akad yang sesuai syariah telah lazim dilakukan umat Islam sejak zaman Rasulullah Saw. Rasulullah Saw, yang dikenal dengan julukan Al-amin, dipercaya oleh masyarakat Mekah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum hijrah ke Madinah, ia meminta Ali bin abi Thalib r.a untuk mengembalikan semua titipan itu kepada para pemiliknya. Seorang sahabat Rasulullah SAW, Zubair bin al-Awwam r.a., memilih tidak menerima titipan harta. Ia lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda, yakni yang pertama, dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, Ia memiliki hak untuk memanfaatkannya; kedua, karena bentuknya pinjam